Turunnya sang raja
Dahulu berdirilah sebuah kerajaan besar di pulau Jawa
yang disebut Kerajaan Galuh, ibukotanya terletak di Galuh dekat Ciamis
sekarang. Dipercaya bahwa pada saat itu kerajaan Galuh membentang dari Hujung
Kulon, ujung Barat Jawa, sampai ke Hujung Galuh ("Ujung Galuh"), yang
saat ini adalah muara dari Sungai Brantas di dekat Surabaya sekarang. Kerajaan
ini diperintah oleh Raja Prabu Permana Di Kusumah. Setelah memerintah dalam
waktu yang lama Raja memutuskan untuk menjadi seorang pertapa dan karena itu ia
memanggil menteri Aria Kebonan ke istana. Selain itu, Aria Kebonan juga telah
datang kepada raja untuk membawa laporan tentang kerajaan. Sementara ia
menunggu di depan pendapa, ia melihat pelayan sibuk mondar-mandir, mengatur
segalanya untuk raja. Menteri itu berpikir betapa senangnya akan menjadi raja.
Setiap perintah dipatuhi, setiap keinginan terpenuhi. Karena itu ia pun ingin
menjadi raja.
Saat ia sedang melamun di sana, raja memanggilnya.
"Aria Kebonan, apakah benar bahwa Engkau ingin
menjadi raja?" Raja tahu itu karena ia diberkahi dengan kekuatan
supranatural.
"Tidak, Yang Mulia, aku tidak akan bisa."
"Jangan berbohong, Aria Kebonan, aku tahu
itu."
"Maaf, Yang Mulia, Saya baru saja
memikirkannya." "Yah, Aku akan membuat engkau menjadi raja Selama Aku
pergi untuk bermeditasi, Engkau akan menjadi raja dan memerintah dengan benar..
Engkau tidak akan memperlakukan (tidur dengan) kedua istriku, Dewi Pangrenyep
dan Dewi Naganingrum sebagai istrimu."
"Baiklah, Yang Mulia."
"Aku akan mengubah penampilanmu menjadi seorang
pria tampan. Nama Anda akan Prabu Barma Wijaya.. Beritahulah pada orang-orang
bahwa raja telah menjadi muda dan Aku sendiri akan pergi ke suatu tempat
rahasia. Dengan demikian engkau akan menjadi raja!"
Pada saat penampilan Aria Kebonan menyerupai Prabu
Permana di Kusumah itu, tapi tampak sepuluh tahun lebih muda. Orang percaya
pengumuman bahwa ia adalah Raja Prabu Permana Di Kusumah yang telah menjadi
sepuluh tahun lebih muda dan mengubah namanya menjadi Prabu Barma Wijaya. Hanya
satu orang tidak percaya ceritanya. Ia adalah Uwa Batara lengser yang
mengetahui perjanjian antara raja dan menteri tersebut. Prabu Barma Wijaya
menjadi bangga dan mempermalukan Uwa Batara lengser yang tidak dapat melakukan
apa-apa. Dia juga memperlakukan kedua ratu dengan kasar. Keduanya
menghindarinya, kecuali di depan umum ketika mereka berperilaku seolah-olah
mereka istri Prabu Barma Wijaya.
Kelahiran dua pangeran
Suatu malam kedua ratu bermimpi bahwa bulan jatuh di
atas mereka. Mereka melaporkan hal itu kepada raja yang membuatnya ketakutan,
karena mimpi tersebut biasanya peringatan bagi wanita yang akan hamil. Hal ini
tidak mungkin karena ia tidak bersalah memperlakukan kedua ratu sebagai
istri-istrinya. Uwa Batara lengser muncul dan mengusulkan untuk mengundang
seorang pertapa baru, yang disebut Ajar Sukaresi - yang tidak lain adalah Raja
Prabu Permana Di Kusumah - untuk menjelaskan mimpi yang aneh tersebut. Prabu
Barma Wijaya setuju, dan begitu pertapa tiba di istana ia ditanya oleh raja
tentang arti mimpi itu.
"Kedua ratu mengharapkan seorang anak, Yang
Mulia." Meskipun terkejut dengan jawabannya, Prabu Barma Wijaya masih bisa
mengendalikan diri. Ingin tahu seberapa jauh pertapa berani berbohong kepada
dia, dia mengajukan pertanyaan lain. "Apakah mereka akan anak perempuan
atau anak laki-laki?"
"Keduanya anak laki-laki, Yang Mulia." Pada
hal ini raja tidak bisa lagi menahan diri, mengambil kerisnya dan menusuk Ajar
Sukaresi agar dia mati namun Dia gagal. Keris itu bengkok.
"Apakah Raja berkehendak aku mati? Bila begitu,
saya akan mati." Kemudian pertapa itu jatuh. Raja menendang mayatnya
begitu hebat sehingga terlempar ke dalam hutan di mana ia berubah menjadi
seekor naga besar, yang disebut Nagawiru. Di keraton, sesuatu yang aneh
terjadi. Kedua ratu memang hamil. Setelah beberapa waktu Dewi Pangrenyep
melahirkan seorang putra yang bernama Hariang Banga.
Suatu hari ketika Prabu Barma Wijaya mengunjungi Dewi
Naganingrum, secara ajaib janin dalam kandungan Naganingrum yang belum lahir
tersebut berbicara: "Barma Wijaya, Engkau telah melupakan banyak janjimu.
Semakin banyak Anda melakukan hal-hal kejam, kekuasaan Anda akan semakin
pendek.."
Rencana jahat
Peristiwa aneh janin yang dapat berbicara tersebut
membuat Raja sangat marah dan takut terhadap ancaman janin tersebut. Dia ingin
menyingkirkan janin itu dan segera menemukan cara untuk melakukannya. Dia
meminta bantuan Dewi Pangrenyep untuk dapat terlepas dari bayi Dewi Naganingrum
yang akan lahir sebagai bajingan menurut impiannya. Dia tidak akan cocok untuk
menjadi penguasa negeri ini bersama-sama dengan Hariang Banga, putra Dewi
Pangrenyep. Ratu percaya hal tersebut dan setuju, tapi apa yang harus
dilakukan? "Kita akan menukar bayi tersebut dengan anjing dan
melemparkannya ke sungai Citanduy."
Sebelum melahirkan, Dewi Pangrenyep menghimbau Dewi
Naganingrum untuk menutupi matanya dengan malam (lilin) yang biasanya digunakan
untuk membatik. Dia berpendapat bahwa perlakuan ini adalah untuk menghindarkan
ibu yang sedang melahirkan agar tidak melihat terlalu banyak darah yang mungkin
dapat membuat dia pingsan. Naganingrum setuju dan Pangrenyep pun menutup mata
Dewi Naganingrum dengan lilin, berpura-pura membantu ratu malang tersebut.
Naganingrum tidak menyadari apa yang terjadi, bayi yang baru lahir itu
dimasukkan ke dalam keranjang dan dilemparkan ke dalam Sungai Citanduy, setelah
ditukar dengan bayi anjing yang dibaringkan di pangkuan sang ibu yang tidak
curiga akan perbuatan jahat tersebut.
Ratu Naganingrum segera menyadari bahwa ia tengah
menggendong seekor bayi anjing, ia sangat terkejut dan jatuh sedih. Kedua
pelaku kejahatan berusaha menyingkirkan Dewi Naganingrum dari istana dengan
mengatakan kebohongan kepada rakyat, tapi tidak ada yang percaya kepada mereka.
Bahkan Uwa Batara lengser tak dapat melakukan apa-apa karena Raja serta Ratu
Dewi Pangrenyep sangat berkuasa. Barma Wijaya bahkan memerintahkan hukuman mati
atas Dewi Naganingrum karena dia telah melahirkan seekor anjing, yang dianggap
sebagai kutukan dari para dewa dan aib bagi kerajaan. Uwa Batara lengser
mendapat perintah untuk melaksanakan eksekusi tersebut. Dia membawa ratu yang
malang ke hutan, namun dia tak sampai hati membunuhnya, ia bahkan membangunkan
sebuah gubuk yang baik untuknya. Untuk meyakinkan Raja dan Ratu Pangrenyep
bahwa ia telah melakukan perintah mereka, ia menunjukkan kepada mereka pakaian
Dewi Naganingrum yang berlumuran darah.
Sabung ayam
Di desa Geger Sunten, tepian sungai Citanduy, hiduplah
sepasang suami istri tua yang biasa memasang bubu keramba perangkap ikan yang
terbuat dari bambu di sungai untuk menangkap ikan. Suatu pagi mereka pergi ke
sungai untuk mengambil ikan yang terperangkap di dalam bubu, dan sangat
terkejut bukannya menemukan ikan melainkan keranjang yang tersangkut pada bubu
tersebut. Setelah membukanya, mereka menemukan bayi yang menggemaskan. Mereka
membawa pulang bayi tersebut, merawatnya dan menyayanginya seperti anak mereka
sendiri.
Dengan berlalunya waktu bayi tumbuh menjadi seorang
pemuda rupawan yang menemani berburu orang tua dalam hutan. Suatu hari mereka
melihat seekor burung dan monyet.
"Burung dan monyet apakah itu, Ayah?"
"Burung itu disebut Ciung dan monyet itu adalah
Wanara, anakku."
"Kalau begitu, panggillah aku Ciung Wanara."
Orang tua itu menyetujui karena arti kedua kata tersebut cocok dengan karakter
anak itu.
Suatu hari ia bertanya pada orang tuanya mengapa dia
berbeda dengan anak laki-laki lain dari desa tersebut dan mengapa mereka sangat
menghormatinya. Kemudian orang tua itu mengatakan kepadanya bahwa ia telah
terbawa arus sungai ke desat tersebut dalam sebuah keranjang dan bukan anak
dari desa tersebut.
"Orangtuamu pasti bangsawan dari Galuh."
"Kalau begitu, aku harus pergi ke sana di mencari
orang tua kandungku, Ayah."
"Itu benar, tetapi kamu harus pergi dengan seorang
teman. Di keranjang itu ada telur. Ambillah, pergilah ke hutan dan carilah
unggas untuk menetaskan telur itu."
Ciung Wanara mengambil telur itu, pergi ke hutan
seperti yang diperintahkan oleh sang orang tua, tetapi ia tidak dapat menemukan
unggas. Ia menemukan Nagawiru yang baik kepada dia dan yang menawarkan dia
untuk menetas telur. Dia meletakkan telur di bawah naga itu dan taklama setelah
menetas, anak ayam tumbuh dengan cepat. Ciung Wanara memasukkannya ke dalam
keranjang, meninggalkan orang tua dan istrinya dan memulai perjalanannya ke
Galuh.
Di ibukota Galuh, sabung ayam adalah sebuah acara
olahraga besar, baik raja dan rakyatnya menyukainya. Raja Barma Wijaya memiliki
ayam jago yang besar dan tak terkalahkan bernama Si Jeling. Dalam
kesombongannya, ia menyatakan bahwa ia akan mengabulkan keinginan apapun kepada
pemilik ayam yang bisa mengalahkan ayam juaranya.
Saat tiba, anak ayam Ciung Wanara sudah tumbuh menjadi
ayam petarung yang kuat. Sementara Ciung Wanara sedang mencari pemilik
keranjang, ia ikut ambil bagian dalam turnamen adu ayam kerajaan. Ayamnya tidak
pernah kalah. Kabar tentang anak muda yang ayam jantannya selalu menang di
sabung ayam akhirnya mencapai telinga Prabu Barma Wijaya yang kemudian
memerintahkan Uwa Batara lengser untuk menemukan pemuda itu. Orang tua itu
segera menyadari bahwa pemuda pemilik ayam itu adalah putra Dewi Naganingrum
yang telah lama hilang, terutama ketika Ciung Wanara menunjukkan padanya
keranjang di mana ia telah dihanyutkan ke sungai. Uwa Batara Lengser mengatakan
pada Ciung Wanara bahwa raja telah memerintahkan hal tersebut selain menuduh
ibunya telah melahirkan seekor anjing.
"Jika ayam kamu menang melawan ayam raja, mintalah
saja kepadanya setengah dari kerajaan sebagai hadiah kemenangan kamu."
Keesokan paginya Ciung Wanara muncul di depan Prabu
Barma Wijaya dan menceritakan apa yang telah diusulkan Lengser. Raja setuju
karena dia yakin akan kemenangan ayam jantannya yang disebut Si Jeling. Si
Jeling sedikit lebih besar dari ayam jago Ciung Wanara, namun ayam Ciung Wanara
lebih kuat karena dierami oleh naga Nagawiru. Dalam pertarungan berdarah ini,
ayam sang Raja kehilangan nyawanya dalam pertarungan dan raja terpaksa memenuhi
janjinya untuk memberikan Ciung Wanara setengah dari kerajaannya.
Perang saudara
Ciung Wanara menjadi raja dari setengah kerajaan dan
membangun penjara besi yang dibangun untuk mengurung orang-orang jahat. Ciung
Wanara merencanakan siasat untuk menghukum Prabu Barma Jaya dan Dewi
Pangrenyep. Suatu hari Prabu Barma Jaya dan Dewi Pangrenyep diundang oleh Ciung
Wanara untuk datang dan memeriksa penjara yang baru dibangun. Ketika mereka
berada di dalam, Ciung Wanara menutup pintu dan mengunci mereka di dalam. Dia
kemudian memberitahu orang-orang di kerajaan tentang perbuatan jahat Barma dan
Pangrenyep, orang-orang pun bersorak.
Namun, Hariang Banga, putera Dewi Pangrenyep, menjadi
sedih mengetahui tentang penangkapan ibunya. Ia menyusun rencana pemberontakan,
mengumpulkan banyak tentara dan memimpin perang melawan adiknya. Dalam
pertempuran, ia menyerang Ciung Wanara dan para pengikutnya. Ciung Wanara dan
Hariang Banga adalah pangeran yang kuat dan berkeahlian tinggi dalam seni bela
diri pencak silat. Namun Ciung Wanara berhasil mendorong Hariang Banga ke
tepian Sungai Brebes. Pertempuran terus berlangsung tanpa ada yang menang.
Tiba-tiba muncullah Raja Prabu Permana Di Kusumah didampingi oleh Ratu Dewi
Naganingrum dan Uwa Batara lengser.
"Hariang Banga dan Ciung Wanara!" kata Raja,
"Hentikan pertempuran ini adalah pamali ("tabu" atau
"dilarang" dalam bahasa Sunda dan Jawa) - berperang melawan saudara
sendiri. Kalian adalah saudara, kalian berdua adalah anak-anakku yang akan
memerintah di negeri ini, Ciung Wanara di Galuh dan Hariang Banga di timur
sungai Brebes, negara baru. Semoga sungai ini menjadi batas dan mengubah
namanya dari Sungai Brebes menjadi Sungai pamali untuk mengingatkan kalian
berdua bahwa adalah pamali untuk memerangi saudara sendiri. Biarlah Dewi
Pangrenyep dan Barma Wijaya yang dahulu adalah Aria Kebonan dipenjara karena
dosa mereka." Sejak itu nama sungai ini dikenal sebagai Cipamali (Bahasa
Sunda) atau Kali Pemali (Bahasa Jawa) yang berarti "Sungai Pamali".
Hariang Banga pindah ke timur dan dikenal sebagai Jaka
Susuruh. Dia mendirikan kerajaan Jawa dan menjadi raja Jawa, dan pengikutnya
yang setia menjadi nenek moyang orang Jawa. Ciung Wanara memerintah kerajaan
Galuh dengan adil, rakyatnya adalah orang Sunda, sejak itu Galuh dan Jawa
makmur lagi seperti pada zaman Prabu Permana Di Kusumah. Saat kembali menuju ke
barat, Ciung Wanara menyanyikan legenda ini dalam bentuk Pantun Sunda,
sementara kakaknya menuju ke timur dengan melakukan hal yang sama, menyanyikan
cerita epik ini dalam bentuk tembang.
Interpretasi
Legenda ini adalah cerita rakyat Sunda untuk
menjelaskan asal nama Sungai Pamali, serta untuk menjelaskan asal-usul hubungan
orang Sunda dengan orang Jawa; tentang dua bersaudara yang bersaing dan
memerintah di pulau yang sama (Jawa). Menurut keyakinan ini, orang Sunda
menganggap orang Jawa sebagai saudara mereka yang lebih tua, walaupun kerajaan
di tanah Sunda (Kerajaan Galuh) lebih tua dari kerajaan yang didirikan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Hal ini kemudian berhubungan dengan fakta sejarah bahwa
kerajaan tertua di Jawa memang terletak di Jawa Barat, yaitu Kerajaan
Tarumanagara..
Sumber : Copi dari FB : Shinichi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar