Jumat, 04 Oktober 2024

Kasus Pseudotumor Mata: Ketika Harapan Muncul dari Lensa Kemanusiaan

 

Sedikit pengalaman sekitar pseudotumor mata atau disebut pseudotumor orbita di poliklinik mata. Begini ni ceritanya. Ini terjadi beberapa tahun yang lalu, mengingatkan saya pada beberapa minggu yang lalu ketika saya mendapatkan kasus yang sama.

Pada suatu hari yang cerah di Poliklinik Mata Rumah Sakit Ciawi Bogor, saya baru saja keluar dari kamar operasi. Ketika menuju poliklinik, saya melihat seorang pasien yang membuat hati saya bergetar. Matanya menonjol sebesar kepalan tangan bayi, melotot, dan terlihat menyeramkan. "Wah, pasien tumor yang sudah besar," pikir saya. Suasana poliklinik yang biasanya ramai terasa sepi; hanya ada petugas yang sedang membersihkan lantai ruangan.

Jam menunjukkan pukul 3 sore. Cuaca begitu cerah, namun saya merasakan ketidaknyamanan di leher dan badan setelah berjam-jam berfokus menggunakan mikroskop. Saya bergegas merapikan baju yang tampaknya tidak sepenuhnya rapi, tanda perut saya belum terisi dengan baik. Semakin siang, rasa lapar semakin mengganggu fokus saya.

Ketika saya masuk ke ruang poliklinik, pasien itu segera menurunkan kakinya yang sebelumnya diangkat ke kursi. Melihatnya, rasa kasihan muncul dalam hati saya. Ia telah menunggu lama, bahkan ketika pelayanan poliklinik sudah tutup.

Setelah mendapatkan informasi, saya mendengar kisahnya:

  • Ia berasal dari Cililitan, Jakarta, menempuh perjalanan jauh menggunakan bus menuju Sukabumi.
  • Penderita adalah seorang penjual buah kaki lima yang belakangan ini mengalami kesulitan jualan. Banyak pembeli yang merasa ketakutan melihat wajahnya yang menonjol dan mengerikan.
  • Keberuntungan menyertainya; kondektur bus membebaskan ongkosnya karena merasa iba melihat tumor mata yang sebesar itu.
  • Tumor itu awalnya kecil, namun seiring waktu semakin membesar. Rasa sakit mengganggu setiap harinya, dan pengobatan dengan tetes serta salep mata tidak memberikan perubahan. Ia pernah memeriksakan diri ke tiga rumah sakit terdekat, namun tak ada kemajuan. "Harus disitiseken," kata pasien, merujuk pada pemeriksaan CT scan yang biayanya di luar jangkauannya.

Setelah melakukan anamnesa dan pemeriksaan, saya menemukan penonjolan mata (exophthalmos), pembengkakan selaput mata (ekimosis), serta kesulitan menutup kelopak mata. Saya memberikan formulir untuk pemeriksaan laboratorium dan diagnosa sementara adalah pseudotumor mata dengan kemungkinan keganasan sebagai diagnosa banding. Saya menulis resep dengan dosis tinggi dan berharap tumor tersebut hanya pseudotumor. Namun, pemeriksaan lebih lanjut seperti USG, CT scan, dan biopsi tidak mungkin dilakukan karena biaya yang tinggi.

Ketika pasien menanyakan harga obat, saya berkata bahwa saya tidak tahu pasti, tetapi karena saya memberikan obat generik, saya berharap harganya tidak mahal. Dengan polos, ia menjawab, "Saya tidak punya uang untuk membeli obat. Tadi datang ke rumah sakit menggunakan bus dan tidak membayar."

Saya meminta asisten untuk membelikan obat di apotik rumah sakit dan memberikannya kepada pasien. Tujuh  hari kemudian, ia kembali ke poliklinik dengan wajah lebih ceria. Tumor matanya tampak mengecil, kelopak matanya sudah dapat ditutup dengan mudah, dan rasa sakitnya pun menghilang. "Wah, senang sekali melihat perkembangannya," pikir saya, sambil menantikan kepastian diagnosanya.

Suatu hari, pasien itu datang kembali dengan matanya yang sudah terlihat normal, seperti mata sebelahnya. Ia terlihat penuh rasa syukur, hingga menawarkan lembaran uang yang dikeluarkannya dari saku celana. "Dok, ini untuk mengganti obat yang saya terima," katanya. Ia mengaku mendapatkan uang tersebut dari teman-teman seprofesinya sebagai penjual buah, berkat solidaritas di antara mereka. "Masih ada ya, solidaritas antar sesama profesi," hati saya berbisik.

Empat minggu setelah perawatan intensif, pasien pseudotumor mata itu datang kembali dengan senyuman. "Dok, ini saya bawakan mangga... Mangga manis ini!" ucapnya dengan ceria, mengingatkan saya akan kekuatan harapan dan kemanusiaan yang ada di balik setiap kasus medis.


vertex island




Tidak ada komentar: